Pages

Labels

My Blog List

Followers

Senin, 14 Januari 2013

I'm not READY enough!


Menikah??
     Berapa sih usia ideal menikah untuk kita, para perempuan? Dulu ideal menikah buat saya itu umur 26 tahun. Tapi semakin lama, semakin random pikiran saya tentang pernikahan. Well, saya bersyukur Tuhan mengirimkan sahabat terbaik untuk menjadi pasangan saya sekarang. Saya mau suatu saat menikah dengannya. Tapi saya bukan tipe orang yang hanya bisa hidup dengan cinta saja. Katakanlah saya materialistis. Ah masak iya?? Saya cuma berpikir realistis kok, seiring dengan umur saya yang semakin bertambah. Banyak orang di sekitar saya yang sudah menikah dan saya belajar dari mereka. Mikir juga sih,  

Am I ready enough for it??

Di keluarga saya tidak ada kamus menikah muda,

Selesaikan sekolahmu

Bekerja dengan baik

Kejar semua mimpimu

Penuhi harapan orang tuamu

Menikahlah

    Saya sendiri merasa agak berat dengan tanggung jawab itu. Meski satu-persatu sudah terlewati tanpa terasa. Makanya saya merasa takjub dengan mereka yang sudah menikah. Baik yang menikah muda maupun yang sudah berumur. Saya pikir mereka pasti sudah menyelesaikan tanggung jawab mereka, sehingga bisa memutuskan untuk lepas dari kedua orang tuanya, dan memulai kehidupan yang baru. Saya mengatakan lepas karena ketika kita memutuskan untuk menikah, berarti kita berani untuk tidak bergantung lagi pada orang tua, nggak minta-minta lagi sama orang tua, nggak ngrepotin mereka. Justru sebaliknya, kita yang harus menjaga orang tua kita, memperhatikan mereka. Ribet ya hidup saya hehee. Menikah memang bukan berarti kita menjadi kaya mendadak, tapi setidaknya yaa begitulah. In my opinion, saya percaya menikah membawa berkah dan rejekinya sendiri.
    Menikahlah ketika kamu sudah siap lahir dan batin. Menikahlah ketika kamu tau pasti mau dibuat bagaimana hidupmu pasca menikah nanti. Kata saya pada diri sendiri. Perfeksionis! Itu berlaku sampai sekarang. Menikah karena hamil lebih dulu, menikah karena keburu nggak enak sama orang kampung, menikah karena keburu tua, ahh siapa yang mau berada dalam posisi itu. Saya bilang ke pacar saya, saya nggak mau hidup susah lho nanti. Saya nggak mau setelah kami benar2 menikah (Amin Ya Rabb) ketika susah atau butuh apa kami lari ke orang tua masing2. Minta diurusin ini itu. Saya bukannya kejam sama pacar saya. Tapi saya ingin dia termotivasi dengan kata2, saya nggak mau hidup susah. Semoga dia jadi lebih giat menjalani hidup untuk orang tuanya, keluarganya, dan alhamdulillah kalau untuk saya. Amin. Baca sayang, baca ^_^

     Well, sebagian teman-teman saya sudah menikah. Sebagian sudah punya anak 1, bahkan mau 2. Mungkin besok ketika mereka datang ke pernikahan saya, anak2nya udah pada gede. Hiks sedih juga sih. Sedih karena mereka sudah punya kesibukan sendiri, sedih karena ditinggalin, apalagi kalau sahabat deket. Sedih karena merasa kalah start kesiapan hahaaa

Saya Dora. 24 Tahun. Wanita karier yang masih galau sama pekerjaan. In relationship. Belum siap menikah













Sabtu, 12 Januari 2013

LDR?It happened!


Long Distance Relationship - LDR. Who's find that arggggggh's acronym??? 

   Saya tidak pernah berpikir bahkan tidak pernah merencanakan bahwa kata-kata itu akan menjadi bagian hidup saya. Saya bukan perempuan yang berpengalaman dalam hal in relationship. Bagi saya, yang terpenting adalah dengan siapa dan bagaimana saya berhubungan. Bukan apa hubungannya. Jadi saya tidak terlalu mempermasalahkan ketika dalam waktu yang lama saya menjadi perempuan single & very happy. Hingga akhirnya saya berhenti di orang yang tepat, Tapi tersandung dengan akronim rese itu. Yap, I am the orde of LDR. Saya cuma mau bilang, ternyata menjalaninya lebih berat dari apa yang pernah saya liat atau saya dengar. Hmm sepertinya saya terlalu menyepelekan mereka.

Mungkin otak saya sedang on-off  ketika menasehati seorang sahabat yang juga pelaku LDR, ‘InsyaAllah LDR itu menguatkan Na”. Bukk, …berasa pukulan buat diri sendiri. 

    Bukan tentang jarak, tapi menyatukan waktu. Ya, laki-laki dan perempuan berbeda. Dengan kesibukan yang berbeda, sulit mencari waktu luang satu sama lain. 8 jam bekerja dan ketika sampai dirumah sudah setengah nyawa, yang biasanya bisa langsung nyusruk ke kasur sekarang mau nggak mau harus mengumpulkan sisa tenaga hari ini demi satu sama lain. Kalau perlu mengurangi jatah tidur malam karena saat itulah waktunya ada. Jangan ngantuk, jangan ngantuk, kata saya. Pola hidup saya memang tambah aneh sejak bekerja. Hanya bekerja, makan, dan tidur. Bahkan sekarang akhir pekan buat saya bukan hari untuk refreshing. Tapi hari untuk tidur sebanyak-banyaknya.
     Nggak bisa begitu aja sekarang. Saya harus disadarkan dengan kemarahan, bahwa ada seseorang yang harus saya perhatikan disana, yang selalu menunggu kabar atau membutuhkan saya. Walau kadang saya merasa sia-sia ketika apa yang sudah saya usahakan hari ini, harus berakhir dengan kata-kata, aku tidur duluan ya atau aku pergi dulu ya. Maaf sayang. 
      Bilang maaf itu gampang lho. Memaafkan juga gampang, apalagi bagi mereka yang saling mencintai. Makanya saya benci kata maaf yang terlalu banyak. Bagi saya, kalau masih melakukan kesalahan yang sama, nggak usah kebanyakan minta maaf, mungkin memang kita yang harus membiasakan diri. Bodohnya, saya juga masih melakukan perihal maaf memaafkan itu. Untuk hal yang sepele tapi mematikan. Komunikasi.
Saya benci mengatakan tidak apa-apa atau semuanya baik-baik saja, sementara hati saya sebenarnya sedang berperang melawan pikiran-pikiran jahat, “kalau kamu aku tinggal tidur atau sedang sibuk, kamu masih bisa melakukan kesibukan dengan keluarga, teman, atau apa dan siapalah disekitarmu. Tapi kalau kamu ninggalin aku, ya udah aku nggak bisa apa2, ketemunya paling sama tv, laptop, hp, atau bantal,”  kata saya padanya. DALAM HATI. *Sigh......

Nyesek. That’s my LDR

Saya bukannya takut bahwa dia akan meninggalkan saya selamanya. Saya hanya tidak suka sendirian. Karena ketika tidak ada dia, saya benar-benar sendiri. Dia adalah dunia saya, ketika satu persatu yang lainnya mulai menemukan dunianya masing-masing. Salah! Dia adalah dunia saya sejak dulu, yang selalu ingin saya perjuangkan. Kadang saya kesel kalau dia terlalu sibuk dengan kegiatan yang menyita waktu dan tenaganya, atau ketika dia masih punya banyak hal untuk menyibukkan harinya. Andai saya bisa seperti itu, saya tidak akan terlalu mengganggunya.
Jadi kalau saya tidak dengannya. Entahlah…anggap saja ini keegoisan saya sebagai perempuan yang mulai jengah dengan kata LDR.


I feel so jet lag